Jumat, 09 Oktober 2015

Tugas #1 Softskill IBD





BAB I
PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni.Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
Dalam era yang serba teknologi ini, kebanyakkan dari negara-negara maju di dunia sangat menjaga dan melestarikan budaya asli mereka. Yang seharusnya kita sadari bahwa teknologi yang kita dapat sekarang tidak terlepas dari peran-peran orang-orang jaman dahulu dan kebudayaannya.
Dengan kebudayaan yang masih kita kenal sampai sekarang ini, orang-orang akan mengenal ciri khas dari suatu daerah dengan mudah, dan menjaga kita dari pengaruh kebudayaan luar dengan menerapkan norma-norma kebudayaan masing-masing

1.2 Rumusan Masalah
1. Apa dampak globalisasi terhadap kebudayaan?
2. Apa sajakah peninggalan dari kebudayaan Jakarta?
3. Daerah-daerah Sumatera mana sajakah yang memiliki kebudayaan yang berbeda?


1.3 Manfaat dan Tujuan
Makalah ini dibuat bertujuan untuk membangkitkan rasa cinta terhadap kebudayaan terutama kebudayaan dari daerah Jakarta dan Papua Nugini. Sehingga para kalangan muda tidak malu untuk mempromosikan kebudayaan masing-masing hingga keluar negeri.



BAB II
PEMBAHASAN




2.1 Dampak Globalisasi Terhdap Kebudayaan

Mengenai globalisasi dalam kerangka Barat yang ingin menyamakan budaya masyarakat yang ada di dunia ini, dapat dicurigai bahwa hal itu merupakan satu campur tangan terhadap hukum alam dan penciptaan.
Proses globalisasi yang seimbang dengan kehidupan manusia dan sepanjang sejarah manusia, memang selalu terdapat upaya manusia untuk mendekatkan diri antara satu sama lain dan mencari titik persamaan. Tetapi, di sepanjang 30 tahun terakhir, negara-negara Barat berusaha memaksa masyarakat dunia untuk menerima nilai-nilai Barat secara mutlak. Hal itu sangat berbahaya dan jika terus berkelanjutan, proses ini akan menyebabkan hegemoni Barat dan Amerika terhadap negara-negara lain.
Selanjutnya, globalisasi dalam bentuk yang alami akan meninggikan berbagai budaya dan nilai-nilai budaya. Dalam proses alami ini, setiap bangsa akan berusaha menyesuaikan budaya mereka dengan perkembangan baru sehingga mereka dapat melanjutkan kehidupan dan menghindari kehancuran. Tetapi, dalam proses ini, negara-negara Dunia Ketiga harus memperkokoh dimensi budaya mereka dan memelihara struktur nilai-nilainya agar tidak dieliminasi oleh budaya asing. Dalam rangka ini, berbagai bangsa Dunia Ketiga haruslah mendapatkan informasi ilmiah yang bermanfaat dan menambah pengalaman mereka.
Globalisasi mungkin saja mendatangkan musibah kepada seni dan kebudayaan kita, karena ia sama seperti badai taufan yang mungkin mencabut akar budaya. Tetapi dari sudut pandang yang lain, globalisasi bisa memberikan kesempatan istimewa untuk bangsa-bangsa yang kaya dengan budaya. Seni kita akan tersebar ke luar batas negara dan memberikan pengaruh kepada dunia. Sejarah menyaksikan bahwa pada berbagai era kegemilangan, seni dan kebudayaan Indonesia menemukan identitasnya. Tapi kerena masuknya budaya globalisasi, kebudayaan kita terreduksi oleh arus budaya yang lebih besar. Masalah inilah yang mungkin terjadi hari ini. Karena itu, bangsa Indonesia yang percaya kepada kekuatan akar budaya tidak perlu takut pada pengaruh asing. Kita harus berusaha untuk memahami bagaimana seni dan kebudayaan bisa menjadi benteng pertahanan identitas dan tradisi kita selanjutnya.


2.2 Kebudayaan Jakarta (Suku Betawi)

Suku Betawi adalah sebuah suku bangsa di Indonesia yang penduduknya umumnya bertempat tinggal di Jakarta.
Sejumlah pihak berpendapat bahwa Suku Betawi berasal dari hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa pada masa lalu. Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa yang didatangkan oleh Belanda ke Batavia. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda, Melayu, Jawa, Bali, Bugis, Makassar,dan Ambon, serta suku-suku pendatang, seperti Arab, India, Tionghoa, dan Eropa.

A. Rumah Adat Betawi




Rumah adat Betawi terdapat 2 jenis :

1. Rumah Bapang atau sering disebut rumah kebaya. Ciri khas rumah ini adalah teras rumahnya yang luas disanalah ruang tamu dan bale tempat santai pemilik rumah berada, semi terbuka hanya di batasi pagar setinggi 80 cm dan biasanya lantainya lebih tinggi dari permukaan tanah dan terdapat tangga terbuat dari batubata di semen paling banyak 3 anak tangga. Depan dan sekeliling rumah adalah halaman rumah yang luas baru pagar paling luar dari rumah tersebut. Bentuknya sederhana dan terbuat dari kayu dengan ukiran khas betawi dengan bentuk rumah kotak ( dibangun diatas tanah berbetuk kotak). Rumah Bapang terdiri dari ruang tamu, ruang keluarga, ruang tidur, kamar mandi, dapur dan teras extra luas.

2. Rumah Gudang.


sudah bisa di tebak dari namanya, Rumah adat betawi yang ini berdiri di atas tanah yang berbentuk persegi panjang, rumahnya memanjang depan ke belakang. Atap rumahnya tampak seperti pelana kuda atau perisai, dan di bagian muka rumah terdapat atap kecil.
Berstruktur rangka kayu atau bambu, sementara alasnya berupa tanah dan di tekel atau di semen. Keunikannya dan ciri khas dari rumah betawi terletak pada lisplank rumah ini adalah terbuat dari material kayu papan yang diukir dengan ornamen segitiga berjajar yang diberi nama ’gigi balang’ khas banget betawinya. Di bagian tengah dari rumah tersebut di pakai sebagai ruang tinggal di dalamnya ada kamar tidur, ruang makan, dapur dan kamar mandi dibatasi dinding kayu tertutup dan beberapa jendela untuk ventilasi udara, di luarnya merupakan terasi-teras terbuka yang dikelilingi pagar karawang rendah yang juga bermaterialkan kayu, genteng untuk atab rumah bermaterialkan tanah. Dinding bagian depan dari rumah ini biasanya bersistem knock down atau bisa di bongkar pasang berguna jika pemilik rumah menyelenggarakan hajatan yang membutuhkan ruang lebih luas.

B.Pakaian Betawi

Pakaian Keseharian Pria Betawi


Pakaian adat yang digunakan oleh kaum pria Betawi dalam kegiatan sehari-hari yaitu berupa baju koko berwarna polos atau disebut juga sadariah yang dipadukan dengan celana kolor panjang bermotif batik dengan warna yang tidak terlalu ramai, biasanya hanya putih, cokelat, dan hitam. Sebagai pelengkap ditambahkan pula penggunaan kain pelekat berbentuk selendang yang diselempangkan pada leher atau ditempatkan sebelah pundak serta peci warna hitam dari bahan beludru yang menjadi ciri khas masyarakat Betawi.

Pakaian Keseharian Wanita Betawi

Jenis pakaian keseharian yang digunakan oleh kaum wanita dalam adat Betawi yaitu berupa baju kurung dengan warna mencolok yang dipadukan kain sarung batik bercorak geometri dengan warna-warna yang cerah. Sebagai pelengkap ditambahkan pula penggunaan tutup kepala berupa kerudung atau selendang dengan warna senada sesuai baju yang dikenakan.


Busana Pengantin Pria Betawi


Busana yang dikenakan oleh pengantin pria dalam adat Betawi disebut dengan Dandanan Care Haji. Busana ini terdiri dari jubah berwarna cerah yang terbuat dari bahan beludru dengan bagian dalam berupa kain berwarna putih yang halus. Sebagai pelengkap ditambahkan penggunaan tutup kepala dari sorban yang disebut dengan nama Alpie, selendang bermotif benang emas atau manik-manik yang berwarna cerah, serta alas kaki berupa sepatu pantofel agar tampak lebih serasi.



Busana Pengantin Wanita Betawi
Pakaian yang dikenakan oleh pengantin wanita dalam adat Betawi yaitu berupa blus bergaya Cina yang terbuat dari bahan satin berwarna cerah dan dikenal dengan nama busana Rias besar dandanan care none pengantin cine. Pemakaian busana ini dipadukan dengan bawahan berupa rok model putri duyung berwarna gelap (hitam atau merah hati) atau disebut dengan nama Kun. Sebagai pelengkap kepala ditambahkan penggunaan sanggul palsu yang dihiasi dengan kembang goyang motif burung hong, bunga melati yang dibentuk roonje dan sisir, serta pemakaian cadar di bagian wajah. Perhiasan lain yang dipergunakan diantaranya berupa kalung lebar, gelang listring, dan hiasan teratai manik-manik yang dikalungkan di bagian dada, serta alas kaki berupa selop dengan model perahu



C. Macam-macam Kesenian Khas Betawi

1. Ondel-ondel
Entah mengapa diberi nama Ondel-ondel. Yang pasti, setiap ada gelaran hajatan di kalangan warga Betawi, arak-arakan ondel-ondel seperti tak pernah ketinggalan. Baik hajatan besar maupun sekedar pesta sunat anak.
Boneka besar setinggi sekitar 2 meter tersebut memang dipercaya sebagai simbol nenek moyang yang menjaga anak-cucunya yang masih hidup. Dengan kata lain, ondel-ondel juga dipercaya untuk mengusir roh jahat setiap ada hajatan. Bagian wajah berupa topeng (disebut kedok), sementara rambut kepalanya dibuat dari ijuk. Wajah ondel-ondel laki-laki dicat warna merah, sedangkan yang perempuan dicat dengan warna putih.
Keberadaan ondel-ondel yang kerangkanya dibuat dari bambu itu saat ini sudah mulai bergeser. Kadang hanya digunakan sebagai pajangan di kantor-kantor, hotel-hotel, atau tempat-tempat umum setiap bulan Juli tiba.

2. Seni Teater

• Lenong
Lenong adalah teater rakyat khas Betawi yang dikenal sejak tahun 1920-an. Sejak awal keberadaannya, diiringi dengan musik gambang kromong. Dalam dua Lenong dikenal dua jenis cerita yaitu Lenong Denes (bercerita tentang kerajaan atau kaum bangsawan) sementara Lenong Preman berkisah tentang kehidupan rakyat sehari-hari ataupun dunia jagoan.
Lenong Denes sendiri adalah perkembangan dari bermacam bentuk teater rakyat Betawi yang sudah punah, seperti wayang sumedar, wayang senggol ataupun wayang dermuluk. Sementara lenong preman disebut-sebut sebagai perkembangan dari wayang sironda.
Yang cukup signifikan dalam perbedaan penampilan kedua lenong tersebut, Lenong Denes umumnya menggunakan bahasa Melayu halus, sedang Lenong Preman rata-rata menggunakan bahasa Betawi sehari-hari.
Beberapa seniman Lenong Betawi terkenal yang lahir dan terkenal dari kesenian ini cukup banyak. Sebut saja H. Bokir (alm), Mpok Nori sampai Mandra. Namun tokoh dalam bidang ini siapa lagi kalau bukan H.M. Nasir T (Bang Nasir).

• Palang Pintu
Palang Pintu adalah seni budaya yg biasa nya di gunakan atau dapat dilihat atraksinya di berbagai acara adat betawi, seperti perkawinan, penerimaan tamu kehormatan, dan lain-lain.
Palang pintu juga di hiasai oleh pantun-pantun betawi, dan diiringi oleh musik marawis, atau gambang kromong atau tanjidor yang khas tentunya dengan betawi. Yang menarik adalah, atraksi pencak silat yang diperagakan umumnya menggunakan senjata tajam sejenis golok, dan si jagoan atau pengawal tamu atau mempelai pria harus memenangi pertarungan tersebut.
Palang pintu walau terlihat ada kekerasan dengan adu jotos dan menggunakan senjata tajam, namun budaya yang satu ini cenderung jenaka karena aksi-aksi para pesilatnya.


• Topeng Belantek

Sebagai suku asli di Jakarta, Betawi sangat kaya akan seni dan budaya. Namun, tidak semua kesenian Betawi dikenal masyarakat secara luas, termasuk seni topeng blantek. Padahal, jauh sebelum kesenian tradisional Betawi seperti gambang kromong, lenong dan lain sebagainya dikenal masyarakat, topeng blantek sudah lebih dulu hadir di tengah-tengah masyarakat Betawi.
Soal asal-usul nama kesenian ini berasal dari dua suku kata, yaitu topeng dan blantek. Istilah topeng berasal dari bahasa Cina di zaman Dinasti Ming. Topeng asal kata dari to dan peng. To artinya sandi dan peng artinya wara. Jadi topeng itu bila dijabarkan berarti sandiwara. Sedangkan untuk kata blantek ada beberapa pendapat. Ada yang mengatakan berasal dari bunyi-bunyian musik yang mengiringinya. Yaitu satu rebana biang, dua rebana anak dan satu kecrek yang menghasilkan bunyi, blang blang crek. Namun, karena lidah lokal ingin enaknya saja dalam penyebutan maka munculah istilah blantek.
Pendapat lainnya mengatakan, asal nama blantek berasal dari Inggris, yaitu blindtexs, yang berarti buta naskah. Marhasan (55), tokoh pelestari topeng blantek mengatakan, permainan blantek dahulu kala tidak memakai naskah dan sutradara hanya memberikan gagasan-gagasan garis besar cerita yang akan dimainkan.
Ciri dari kesenian topeng blantek yaitu terdapat tiga buah sundung (kayu yang dirangkai berbentuk segi tiga yang biasa digunakan untuk memikul sayuran, rumput dan lain sebagainya). Yaitu satu sundung berukuran besar dan dua berukuran kecil yang diletakkan di pentas sebagai pembatas para pemain yang sedang berlakon dengan panjak dan musik juga dengan para pemain lain yang belum dapat giliran berlakon. Kemudian perangkat lainnya berupa obor yang diletakkan di tengah pentas.


3. Tanjidor
Selain mendapat pengaruh dari budaya Cina, kesenian Betawi dipengaruhi oleh beragam budaya dari Eropa. Orkes Tanjidor, misalnya, mulai ada sejak abad ke-18. Konon salah seorang Gubernur Jenderal Belanda, Valckenier menggabungkan rombongan 15 orang pemain alat musik tiup Belanda dengan pemain gamelan, pesuling Cina, dan penabuh tambur Turki untuk memeriahkan pesta. Daftar instrument dalam orkes tanjidor adalah Cabasa, Simbal, Maracas, Quarto, Drum bass, Snare drum, Xylophone, Marimba, Vibraphone, Sousaphone, Mellophone, Baritone, Tuba, Trompet, dan Eufonium.
Tak heran, secara sepintas, bunyi orkes Tanjidor sangat mirip dengan lagu-lagu dalam kelompok marching band, tapi lagu-lagu barat berirama imarsi maupun wals yang dimainkan oleh para pemain tanjidor sudah sulit dilacak asal-usulnya, mengingat sejak awal keberaadannya dikembangkan sesuai selera sekaligus kemampuan ingat para juru panjaknya dari generasi ke generasi.
Sampai saat ini, Tanjidor masih ditampilkan untuk menyambut tamu, memeriahkan arak-arakan atau mengiringi pengantin. Namun dalam perayaan HUT Jakarta biasanya ditampilkan sebagai salah satu peserta festival. Menyebut Tanjidor, tampaknya identik dengan tokohnya, Marta Nya’at.
Kesenian Tanjidor juga terdapat di Kalimantan Barat, sementara di Kalimantan Selatan sudah punah.
Tanjidor memiliki bunyi yang khas, Tret ……. te tet drong .. tre te tet dung trek. Sekarang hanya dimainkan oleh para musisi yang sudah berumur dan alat-alat musik yang juga sudah lapuk pula, walaupun begitu alunan musik khas dari betawi ini akan dapat menghibur orang yang menonton pertunjukan musik tradisional betawi tersebut.
Walau nada yang dihasilkan dari kesenian ini terkadang fals karena suaranya yang tidak beraturan. Hal tersebut disebabka karena alat yang digunakan sudang sangat tua, bahkan alat musik tersebut sudah banyak tambalan-tambalan dengan cara dipatri, dan tidak hanya itu ada juga yang diikat menggunakan kawat dan terlihat sangat berantakan. Namun kesemuanya itu tidak mengurangi sedikitpun semangat para penabuhnya yang kebanyakan sudah berusia lanjut.
Sejak dulu memang, Tanjidor tidak banyak memberi janji sehingga pendukungnya dari tahun ke tahun kian menurun. Selain banyak yang sudah meninggal, pendukungnya sekarang sudah pada uzur. Untuk singgah menjadi seniman orkes Tanjidor memang harus punya bakat di bidang musik modern atau ketrampilan itulah yang membuat orang senang menekuni hobinya. Biar pun keadaan sudah berubah 180 derajat, namun masih ada beberapa perkumpulan Tanjidor di wilayah Jakarta.


2.3 Berbagai Macam Bahasa di Sumatera
Orang Minangkabau, Orang Padang, Orang Melayu atau Orang Awak?
Di Sumatra Barat sendiri ada banyak sekali dialek-dialek dari bahasa yang dikenal sebagai “bahasa Minangkabau” ini, karena memang belum ada usaha-usaha untuk menstandardisasi cara pengucapan atau penulisan dari dialek-dialek ini. Sehingga banyak, kalau kita tidak dapat mengatakan hal itu sebagai sebagian besar, perbedaan dalam penulisan kata-kata dari tiap-tiap dialek ini.
Menurut keterangan seorang Ibu dari daerah Solok, dua kampung yang berdekatan saja memiliki dialek yang berbeda. Contohnya adalah kata pasar (Indon.). Ada kampung yang memakai kata “balai“, sementara kampung terdekatnya memakai kata “bolai“. Sementara itu, di daerah-daerah lain di Sumatra Barat, banyak orang yang memakai kata “pasa“. Jadi memang perbedaannya tidak banyak. Umumnya pebedaannya terletak pada huruf ataupun suku kata. Perbedaan cara penulisan adalah perbedaan yang paling sering ditemui. Orang Ocu misalnya menulis kata untuk “orang” sebagai “ughang“, sama dengan orang Silungkang di Sumatra Barat. Hal ini disebabkan karena banyak orang “awak” tidak bisa mengucapkan huruf “r”. Sementara itu di daerah lainnya kata “urang” yang dipakai.
Orang dari daerah Talawi di Sumatra Barat mengatakan bahwa, dialek “bahasa Minang” mereka sangat jauh berbeda daripada dialek-dialek “bahasa awak” lainnya di Sumatra Barat. Orang-orang dari daerah lainnya mengalami kesulitan untuk bisa mengerti sepenuhnya apa yang dimaksud karena perbedaan yang cukup jauh ini.
Sesungguhnya, banyak suku bangsa-suku bangsa di Sumatra Tengah yang kini masuk sebagai propinsi Riau, Bengkulu, Sumatra Selatan, Jambi, sampai ke Aceh yang berbahasa yang sama dengan bahasa yang dikenal sebagai “bahasa Minang”, hanya beda-beda sedikit saja. Kita bisa sebut saja misalnya orang Ocu, orang yang dikenal sebagai orang Kubu yang sebenarnya terdiri dari banyak suku-suku lainnya seperti misalnya, orang Talang Mamak atau orang Mamak, orang Sakai, orang Talang atau orang Petalangan dan lain-lain di Riau, serta orang Aneuk Jamee di Aceh. Kata Aneuk Jamee sendiri dalam bahasa Aceh kira-kira sama dengan “pendatang”. Mereka semua pada umumnya menyebut dirinya dengan “orang awak”. Ada yang menyebut dirinya, terutama yang tinggal di daerah Bukit Barisan, dengan sebutan “orang darat” atau dalam bahasa orang-orang di Sumatra Tengah sebagai “urang darek“.
Orang-orang ini berbahasa yang sama dengan “orang awak” di Sumatra Barat, menyebut dirinya dengan “orang awak” atau “orang darek” dan hampir seluruhnya masih berbudaya matrilineal. Akan tetapi di propinsi Riau mereka dikenal sebagai “orang Melayu“. Di luar Riau mereka dikenal sebagai “orang Melayu Riau“. Dan saudara mereka di Sumatra Barat tidak mengenal mereka, bahkan ikut-ikutan menyebut mereka sebagai “orang Melayu”. Padahal orang-orang ini kebanyakan tidak merasa menjadi “orang Melayu” melainkan “orang awak”, “orang darek” atau bahkan “orang asli”.
Pernyataan ini serupa dengan orang-orang awak di Sumatra Barat yang merasa diri mereka bukan “orang Melayu“, melainkan “orang awak“, atau “orang Minang“. Orang-orang Minang di daerah-daerah selain Padang, menyebutkan bahwa bahwa mereka “lebih Minang” daripada “orang Padang“, karena dari sejarahnya, Padang memang merupakan tempat bagi para pendatang, di mana perubahan maupun pemaksaan budaya juga dimulai dari daerah ini. Sampai sekarang, Padang tetaplah merupakan tempat di mana, gagasan-gagasan yagn bersumber daripada kekuasaan dimulai, dalam fungsinya sebagai tempat bagi “kaum pendatang” dan tempat kekuasaan (ibukota propinsi).
Dari kesamaan bahasa maupun budayanya secara umum, sebenarnya bisa dikatakan bahwa “orang Minang” di Sumatra Barat adalah bersaudara dengan orang-orang yang disebut sebagai orang Melayu atau orang pendatang ini (semisal Aneuk Jamee di Aceh). Seluruh suku-suku ini sama-sama menyebut diri mereka “orang awak“, memiliki budaya yang matrilineal, serta menolak disebut sebagai “orang Melayu“. Orang Talang Mamak misalnya mengatakan bahwa orang Talang Mamak yang masuk Islam, sebagai menjadi “orang Melayu“. Orang-orang yang disebut sebagai orang Kubu utamanya berasal dari orang-orang yang lari ke hutan pada saat berkobarnya penyerangan kelompok padri dengan kelompok orang awak yang dikenal sebagai kelompok adat. Hal yang sama juga dikatakan oleh “orang-orang awak” di Sumatra Barat, bahwa yang disebut sebagai orang Kubu adalah orang-orang yang tidak mau masuk Islam atau orang-orang yang ingin bertahan dengan kebudayaan mereka, dengan kata lain orang-orang yang tidak ingin menjadi “melayu“. Sama halnya dengan banyak “orang awak” di Malaysia, yang tidak mau menjadi “Melayu” karena mereka tidak mau masuk Islam, dan merasa mereka mendapat perlakuan yang tidak adil sebagai bukan “Muslim”. Mereka juga menyebut diri mereka sebagai “orang nagari” (dari asal kata nagari). Orang-orang ini juga menyebut diri mereka sendiri dengan sebutan “orang awak“.
Orang awak di Sumatra Barat sendiri mendasari identitas mereka sebagai orang Sumatra Barat, didasarkan pada identitas dari zaman Belanda sebagai orang dari daerah “Pantai Barat Sumatra“, jadi Sumatra Barat. Dan ditambah dengan pembatasan-pembatasan menjadi propinsi-propinsi menjadi propinsi Sumatra Barat (Sebelumnya hanya Sumatra Tengah), yang kemudian hanya mencakup sebagian kecil saja dari daerah yang dulu dikenal sebagai Sumatra Tengah. Dengan demikian juga memisahkan saudara-saudara sesama budaya di bagian Sumatra lainnya.
Memandang kenyataan mengenai budaya yang serupa ini, serta kenyataan bahwa di Riau sendiri, sebagian besar penduduknya adalah orang yang menyebut dirinya “orang awak” dan “berbahasa awak” sama seperti bahasa “orang awak” di Sumatra Barat, yang juga berarti masih bersaudara dengan orang awak di Sumatra Barat, semestinya orang awak di seluruh daerah-daerah di Sumatra dan Malaysia membentuk suatu Pan-Orang Awak untuk menyatukan kembali saudara-saudara kita dari keterpisahan politik oleh sekat-sekat yang bernama wilayah. Tidak usah dipermasalahkan lagi apakah “orang awak” itu beragama Islam atau tidak. Yang terpenting adalah kesamaan budaya, yang salah satunya adalah bahasa dan budaya yang matriarkal. Sudah cukuplah penderitaaan “orang awak” karena terpecah belah karena masalah pemaksaan agama ini. Orang-orang awak zaman dulu sudah cukup menderita karena harus lari ke hutan untuk menyelamatkan diri dari serangan-serangan kelompok Islam fundamentalis yang dikenal sebagai kelompok padri ini.
Perang orang awak melawan Belanda yang terjadi sesudah penyerangan kelompok padri terhadapa mereka, didasari pada dua hal yaitu perlawanan kelompok padri yang diperangi oleh Belanda karena penyerangan kelompok padri ini dianggap mengganggu perekonomian Belanda, dan perang orang awak sendiri melawan Belanda yang berdasarkan kesadaran bahwa Belandapun pada akhirnya hanya ingin mengambil keuntungan dari mereka.
Bahwa kemudian “perang padri” ini disucikan menjadi hanya “perang kelompok padri melawan Belanda” adalah tidak pada tempatnya. Kelompok padri pada mulanya tidak bermaksud menyerang Belanda melainkan “memurnikan” dan “mengislamkan” orang awak. Perang melawan Belanda yang terjadi sesudahnya adalah suatu konsekuensi karena penyerangan kelompok padri terhadap orang awak yang “tidak mau menjadi Islam” atau “tidak benar-benar Islam” ini menganggu roda perekonomian dan karenanya dianggap merugikan Belanda. Harus diingat pula bahwa perempuan-perempuan Minang berperan besar dalam perang lanjutan ini (baca: perang melawan Belanda dan bukannya penyerangan kelompok padri kepada orang-orang awak), yaitu sebagai pembuat mesiu (Rusli Amran) dan juga dalam perang itu sendiri. Akan tetapi yang ditonjolkan hanya “Imam Bonjol” saja, padahal boleh dikatakan dialah yang menyebabkan “orang awak” akhirnya benar-benar jatuh ke tangan penjajahan Belanda. “
“Perang padri” adalah perang yang diawali dengan penyerangan dan pembantaian kelompok padri terhadap orang awak yang tidak mau menjadi Islam, berlanjut dengan perang kelompok padri dan orang awak yang bukan termasuk kelompok padri untuk melawan Belanda dan yang akhirnya diakhiri dengan jatuhnya ranah Bundo Kanduang ke tangan penjajah Belanda. Jadi bisa dikatakan bahwa kelompok padrilah yang menyebabkan terjajahnya ranah Bundo Kanduang.
Kata Minangkabau atau Minang sendiri sebenarnya adalah kata yang dipakai atau disukai oleh peneliti-peneliti Barat untuk memberi nama “orang awak” di daerah yang dikenal sebagai Sumatra Barat, yang berdasarkan kepada cerita yang tampaknya bombastis mengenai peristiwa adu kerbau besar dengan kerbau kecil yang masih menyusu. Banyak juga peneliti lainnya yang memberi nama Minangkabau untuk orang-orang yang berbudaya matrilineal (baca matriarkal) yang mendiami sebagian terbesar daerah yang disebut sebagai Sumatra Tengah, sampai ke Sumatra Utara (Aceh).
Daerah Riau yang dikenal sebagai “Melayu yang asli” malahan penduduk terbesarnya adalah orang-orang yang berbudaya matriarkal dan berbahasa awak dan menyebut dirinya sendiri sebagai orang awak. Ibukota Riau, Pekan Baru, sebagian besar didiami oleh orang-orang awak baik dari Sumatra Barat mauoun dari daerah-daerah di Riau sendiri. Kalau begitu, sebenarnya apa arti Melayu itu? Selama ini kita mengenal kata Melayu, tapi kata itu memiliki banyak arti dan dipergunakan sebagai sebuah penghormatan kepada identitas kemelayuan. Padahal orang-orang yang menyebut dirinya “orang asli” di Sumatra Tengah mengatakan bahwa menjadi “orang Melayu” berarti masuk Islam. Jadi, ke-Islam-anlah yang memberikan identitas “Melayu” ini. Peneliti-peneliti Barat sendiri lebih suka menyebut semua suku sebagai “Melayu“. Peneliti Barat sendiri bahkan dengan beraninya mengatakan bahwa “bahasa Minangkabau” adalah salah satu dialek dari “bahasa Melayu“. Seolah-olah “orang Melayu” dan “bahasa Melayu” yang dikenal sebagai “bahasa Melayu Riau” ataupun “bahasa Kebangsaan Malaysia” memiliki kedudukan lebih tinggi atau “ada terlebih dulu” daripada bahasa awak yang dikenal sebagai “bahasa Minangkabau atau bahasa awak“. Padahal istilah Melayu untuk orang asli di Sumatra Tengah yang berbahasa awak selalu dihubungkan dengan Islam, berarti sebagai hal yang baru, sebagai hal yang datang yang dibawa oleh pendatang-pendatang Arab maupun orang-orang yang sudah terpengaruh dengan budaya Arab.
Karena alasan-alasan di atas bahasa Melayu baik di Riau di Malaysia ataupun Bahasa Indonesia selayaknya dipandang sebagai bahasa turunan daripada bahasa awak atau bahasa dari orang-orang awak di “Sumatra Tengah” sampai ke Aceh dan sebagainya yang berkembang lewat perpaduannya dengan entitas baru yaitu Arab/Islam.


BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Indonesia adalah Negara kepulauan. Dalam satu pulau saja banyak sekali kebudayaan yang berada di dalamnya.Pulau Sumatra salah satunya, dalam satu pulau banyak sekali bahasa yang berada di dalamnya. Sudah seharusnya kita sebagai warga Negara Indonesia merasa bangga dan bersyukur atas banyaknya kebudayaan yang terdapat di Negara tercinta kita. Jangan sampai karena semakin banyaknya teknologi yang canggih bermunculan dan kita yang terlalu terlena pada era globalisasi ini, kita lupa melestarikan kebudayaan kita, sehingga banyaknya budaya yang kita punya semakin lama semakin berkurang. Padahal masih banyak yang belum kita ketahui. Dan jangan sampai anak dan cucuk kita tidak tahu mana budaya asli mereka.

3.2 Saran
Seharusnya pada era globalisasi ini kita bisa semakin mudah melestarikan budaya-budaya yang terdapat di Indonesia dengan cara memanfaatkan teknologi-teknologi terkini. Misalnya tanjidor yang telah dibahas di atas, kia bisa mengundang grup-grup tanjidor yang tersisah ke acara televise. Di maksudkan agar kalangan muda yang melihatnya tertarik. Sehingga grup-grup tanjidor tadi bisa regenerasi dan tetap bisa kita nikmati.






Daftar pustaka :
1. https://af008.wordpress.com/budaya-indonesia-di-tengah-arus-globalisasi/
2. https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Betawi
3. http://adewaych.blogspot.co.id/p/rumah-adat-betawi.html
4. http://fitinline.com/article/read/4-ragam-pakaian-adat-betawi/
5. https://ajigunawan.wordpress.com/2013/02/10/kesenian-khas-betawi/
6. https://rizkiamaliar.wordpress.com/2013/10/17/kesenian-tanjidor-diambang-kepunahan/
7. http://alatmusiktradisional.com/alat-musik-tanjidor-kian-usang-di-gerus-zaman.html
8. http://www.varajambak.com/2009/03/11/orang-minangkabau-orang-padang-orang-melayu-atau-orang-awak/


 

Gudang Fly2am Template by Ipietoon Cute Blog Design

Blogger Templates